SERATUSNEWS.ID, PAREPARE — Di saat situasi pandemi Covid-19 masih menjadi fokus perhatian publik di Kota Parepare, Sulawesi Selatan (Sulsel), dan isu global terkait perubahan iklim, namun soroton tajam sedikit menoleh ke persoalan lain.
Adanya proyek pembangunan Anjungan Pantai Cempae, di Kelurahan Watang Soreang, Kecamatan Soreang, kini menjadi buah bibir. Pasalnya, pembangunan proyek yang bertujuan untuk menjadi icon baru di Kota kelahiran BJ Habibie ini, diharapkan mampu mendorong tingkat destinasi. Namun di sisi lain, lokasi pembangunan proyek ini, menggunakan lahan pesisir pantai dengan cara reklamasi.
Lalu apa itu reklamasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), reklamasi adalah usaha memperluas tanah (pertanian) dengan memanfaatkan daerah yang semula tidak berguna atau bisa juga dalam artian pengurukan tanah.
Guru Besar Bidang Biologi Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas Prof. Dr. Ir. Budimawan, DEA saat dihubungi seratusnews.id, Senin (23/8/2021), menilai secara normatif reklamasi hanya bisa dilakukan bila keseluruhan (agregat) memberi dampak positif terhadap manusia dan lingkungan.
“Dengan demikian, sebelum direklamasi suatu lokasi harus ada analisis dampak lingkungan serta analisis mengenai dampak lingkungan, atau environmental assessment pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan, termasuk kemungkinan dampak negatif yang perlu diantisipasi,” jelasnya.
Ketika disinggung dampak yang biasanya ditimbulkan akibat adanya reklamasi pantai ini, Budimawan mengatakan di lokasi-lokasi reklamasi, pertimbangan utama yang perlu dicermati terkait keberadaan biota-biota atau ekosistem penting.
“Misalnya kalau di wilayah pesisir seperti terumbu karang dan biota ekosistem penting sudah tidak ada, maka tentu akan lebih memungkinkan untuk direklamasi. Akan tetapi, biasanya di banyak lokasi reklamasi selalu ada dampak negatif terhadap biota,” katanya.
Lebih jauh Budimawan mengatakan, permasalahan lain yang bisa ditimbulkan ketika aspek dampak lingkungan diabaikan, maka akan sangat memungkinkan berdampak sosial bagi masyarakat pesisir yang banyak berprofesi sebagai nelayan.
“Makanya reklamasi itu harus bisa memberikan jalan keluar atas dampak yang muncul bila lokasi itu secara agregat akan direklamasi. Termasuk memberikan solusi atau exit strategy bagi nelayan yang terdampak dalam hal mata pencaharian,” tambahnya.
Lagi pula kata Budimawan, dalam aturan perundangan undangan yang berlaku di Indonesia, ada imbal jasa lingkungan (Ecosystem services) yang bisa diberlakukan. Jika memang masyarakat pesisir atau nelayan merasa dirugikan, maka nelayan bisa menuntut untuk mendapatkan imbal jasa lingkungan, atau direlokasi pada lokasi yang lebih mudah atau aksesibel untuk menangkap ikan.
“Kita kembali ke kerangka aturan perundangan undangan. Pelaksana proyek seyogyanya patuh dan mengikuti seluruh norma aturan yang dberlakukan. Secara khusus, menyusun dan menjalankan secara keseluruhan UPL/UKL yang diamanatkan dalam Amdal. Nah, disini sering terjadi masalah,” imbuhnya.
Untuk itu Budimawan berharap, dalam pelaksanaan suatu proyek pembangunan, diperlukan pengawas (instansi BLHD) yang memiliki integritas yang cukup, atau melibatkan perguruan tinggi untuk expert ajustment yang ilmiah. (*/ag)