Bagi Pelaut Bugis, Angin Muson Dikenal dengan Istilah ‘Angin Janda’

SERATUSNEWS.ID, PAREPARE — Bagi pelaut Bugis, akhir bulan Desember hingga Januari diidentikkan dengan istilah “Angin Janda”. Dimana biasanya pada bulan tersebut, kondisi cuaca memang sangat buruk karena terjadi angin kencang disertai gelombang tinggi yang kerap menimpa sejumlah perairan tempat mereka berlayar atau saat melakukan aktivitas nelayan.

Kendati kondisi cuaca memburuk, terkadang ada saja nelayan yang memilih nekat turun melaut meski harus bertaruh nyawa demi untuk menghidupi keluarganya, dan tak sedikit dari mereka, harus kehilangan nyawa akibat ditelan oleh ganasnya ombak, hal inilah yang membuat para istri nelayan atau pelaut harus hidup menjanda.

Jumadi, salah seorang nelayan asal Kelurahan Sumpang Minanga’e, Kecamatan Bacukiki Barat, Parepare, yang ditemui, Kamis (9/1/2020) sore mengungkapkan, jika saat ini memasuki angin musim abarat, yang mana sangat beresiko bagi nelayan seperti dirinya untuk beraktivitas di laut.

“Para nelayan Bugis apabila memasuki angin musim barat yang biasanya puncaknya terjadi pada akhir bulan Desember hingga Januari, dan itu kami istilahkan “angin janda,” jelasnya.
 
Halawiah, salah seorang istri nelayan, mengaku khawatir jika dalam kondisi seperti sekarang ini suaminya tetap memilih melaut.

“Sebagai seorang istri, ya sudah pasti kami khawatir, siapa juga yang mau hidup menjanda. Untuk itu biasa saya menyarankan ke suami agar jangan turun melaut dan meminta untuk sementara waktu mencari pekerjaan lain seperti jadi tukang ojek guna menghidupi saya dan anak-anak,” jelasnya.

Sebelumnya, beredar kabar jika Angin Muson Asia diprediksikan akan melintasi wilayah Sulawesi Selatan. Angin Muson yang berdampak pada terjadinya cuaca ekstrem berupa hujan deras disertai angin kencang diprediksi akan terjadi pada 10 hingga 12 Januari 2020 mendatang di sebagian wilayah Sulsel, diantaranya Kota Parepare, Kabupaten Barru dan Pinrang.

Lantas apa yang dimaksud dengan Angin Muson ini?

Dikutip pada Wikipedia, Muson merupakan angin musiman yang bersifat periodik dan biasanya terjadi terutama di Samudera Hindia dan sebelah selatan Asia. Munculnya Angin Muson biasanya ditandai dengan curah hujan yang tinggi. Angin Muson mirip dengan angin laut, tetapi ukurannya lebih besar, lebih kuat dan lebih konstan.

Muson terjadi karena daratan menghangat dan menyejuk lebih cepat daripada air. Hal ini menyebabkan suhu di darat lebih panas daripada di laut pada musim panas. Udara panas di darat biasanya berkembang naik, menciptakan daerah bertekanan rendah. Ini menciptakan sebuah angin yang sangat konstan yang bertiup ke arah daratan. Curah hujan yang terkait disebabkan udara laut yang lembap yang dialihkan ke arah pegunungan, yang kemudian menyebabkan pendinginan, dan lalu pengembunan.

Pada musim dingin, udara di darat menjadi lebih sejuk dengan cepat, tetapi udara panas di laut bertahan lebih lama. Udara panas di atas laut berkembang naik, menciptakan daerah bertekanan rendah dan angin sepoi-sepoi dari darat ke laut. Karena perbedaan suhu antara laut dan daratan lebih kecil dibandingkan saat musim panas, angin muson musim dingin tidak begitu konstan. Muson mirip dengan angin laut, tetapi ukurannya lebih besar, lebih kuat dan lebih konstan, dan dapat berpengaruh juga pada terjadinya gelombang laut yang tinggi.

Fenomena alam ini adalah dianggap alamiah, dimana akan ada pergerakan massa udara basah (MGO) di Samudera Hindia yang mengarah ke timur Indonesia. Akibatnya, pertumbuhan awan menjadi sangat intens, dan hal ini juga memengaruhi kecepatan angin cukup ekstrem hingga 31 knot atau sekira 57 kilometer per jam.

Fenomena Monsun atau Muson ini, sifatnya periodik atau menurut periode tertentu (musim) dan terjadi dalam selang waktu yang tetap. BMKG memprakirakan yang akan menerpa sebahagian wilayah di Sulsel ini, adalah Monsun Asia atau angin barat, angin ini berembus dari Samudra Pasifik bagian barat ke timur yang setiap tahun terjadi.

Penelusuran seratusnews.id dari bebagai sumber menyebutkan, priode bulan Januari, memang kerap terjadi kecelakaan moda transportasi massal, misalnya tenggelamnya Kapal Motor (KM) Teratai Prima serta hilangnya pesawat Adam Air setahun sebelumnya. Kedua peristiwa itu sama-sama terjadi pada awal tahun, yakni 11 Januari 2009 untuk Teratai Prima dan 1 Januari 2007 untuk Adam Air.

Lokasi kejadiannya pun sama, perairan Majene, Sulawesi Barat. Oleh kalangan pelaut Bugis-Makassar, lokasi kejadian itu disebut perairan Tanjung Baturoro. Sementara itu, pelaut Mandar menyebutnya sebagai Tanjung Rangas atau Sumarorong. Sejak dulu perairan ini memang menjadi momok bagi pelaut Bugis-Makassar dan Mandar.

Di perairan Baturoro ini kerap terjadi perubahan cuaca secara mendadak, pusat tekanan di laut berubah rendah secara mendadak. Ini bisa mengubah tekanan angin secara tiba-tiba dan akibatnya mengubah gelombang. Belum lagi kalau perubahan gelombang menyebabkan ombak memukul dari samping kapal, yang sangat signifikan memengaruhi kemungkinan kapal terbalik, terempas, atau tenggelam.

Seperti halnya yang menimpa KM Teratai Prima yang saat itu diterpa angin kencang disertai ombak besar setinggi tiga meter yang menghantam kapal dan hanya dalam hitungan sekira lima menit, kapal langsung terbenam ke dasar laut, sehingga penumpang tidak bisa menyelamatkan diri

Dinyatakan bahwa lebih dari 300 orang penumpang berada di KM Teratai Prima saat terjadinya peristiwa nahas itu. Beberapa hari setelah dinyatakan tenggelam, tim SAR gabungan berhasil mengevakuasi 35 orang yang selamat dari lokasi tenggelam, dan lebih dari 300 orang dinyatakan hilang dan semuanya dianggap tewas. Dengan kematian lebih dari 300 orang, tenggelamnya KM Teratai Prima ini, dianggap sebagai bencana maritim paling mematikan di Indonesia sejak tenggelamnya MV. Senopati Nusantara pada tahun 2006 silam.

Sementara kisah tragis kecelakaan moda transportasi massal lainnya, juga dialami oleh pesawat Adam Air DHI 574 pada 1 Januari 2007 silam, pesawat Boeing 737-400 bernomor registrasi PK-KKW itu juga tinggal landas dari Bandara Juanda Surabaya, Jawa Timur. Namun kemudian hilang begitu saja tanpa ada jejak.

Saat itu, pesawat Adam Air berangkat pukul 12.55 WIB, Senin 1 Januari 2007. Semestinya pesawat tiba di Bandara Sam Ratulangi, Sulawesi Utara, pukul 16.14 Wita.

Namun pada pukul 14.53 Wita, kabar mengejutkan datang. Pesawat disebut putus kontak dengan pengatur lalu-lintas udara (ATC) Bandara Hasanuddin, Makassar. Pada kontak terakhir, posisi pesawat berada pada jarak 85 mil laut barat laut Kota Makassar dengan ketinggian 35 ribu kaki. 8 Bulan kemudian titik terang muncul. Pesawat diduga jatuh di Perairan Majene, Sulawesi Barat. Dugaan ini berdasarkan penemuan kotak hitam di Perairan Majene pada 27 Agustus 2007.

Berdasarkan rekaman kotak hitam yang ditemukan di perairan Majene, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyimpulkan, Adam Air jatuh ke laut menabrak permukaan air laut lalu terbelah dua. Kecelakaan itu disebabkan oleh cuaca buruk dan kerusakan alat navigasi. (*/ag)

Tinggalkan Balasan