SERATUSNEWS.ID, RESENSI — “Aku Menjelma Adam” (2002), “Latopajoko & Anjing Kasmaran” (2007), “Karya Sastra Sebagai Bola Ajaib” (2008), dan “Laki-Laki yang Tidak Menggunakan Batu Cincin” (2015) adalah judul-judul buku dari karya tunggal Badaruddin Amir. Badaruddin Amir lahir di Barru Sulawesi Selatan, pada 4 Mei 1962. Ia menulis cerpen, puisi dan esai. Selama karir kepenulisannya ia telah meraih banyak penghargaan dalam bidang sastra. April 2019, Badaruddin Amir kembali membukukan cerpen-cerpennya berjudul Risalah yang diterbitkan oleh Gora Pustaka. Buku tersebut berisi delapan belas cerpen dengan beragam tema.
Cerpen Risalah sendiri mengisahkan tentang Maharaja bernama Syahdan yang mencari jawaban atas pertanyaan: apakah arti kehidupan? Pertanyan itu ia ajukan kepada siapa saja yang ia jumpai di kerajaannya. Namun, tak seorang pun yang berani menjawab karena takut menyinggung Maharaja yang dapat berakibat hukuman pancung. Karena tak kunjung mendapat respons dari orang-orang sekitar kerajaan, Syahdan melakukan tirakat. Dalam tirakatnya, ia melihat ribuan pasang mata seolah mengincar dan hendak membalas dendam padanya. Tidak mendapat jawaban dari laku tirakat, Syahdan memerintahkan pengawalnya untuk memanggil kepala perpustakaan kerajaan.
“Bawakan aku buku-buku yang menjelaskan tentang risalah kehidupan manusia di bumi ini!” perintah Sang Maharaja kepada sang pustakawan.
Kepala perpustakaan kembali menghadap dengan seratus staf yang masing-masing membawa sepuluh buku. Seribu buku diletakkan di depan Syahdan. Maharaja justru marah dan memaki. Ia meminta kepala perpustakaan itu membawakan buku yang lebih ringkas. Maka dimulailah pengerjaan ringkasan itu. Dari seribu buku menjadi seratus, seratus menjadi dua puluh, dua puluh menjadi satu. Satu buku menjadi sepuluh lembar folio, kemudian 350 kata, hingga menjadi satu paragraf.
Kepala perpustakaan memberi hasil ringkasan itu pada Syahdan. Namun, Maharaja tetap tak mau membacanya karena terlalu panjang. Kepala perpustakaan jenuh dan jengkel. Lalu menulis sebuah umpatan singkat kepada Maharaja dan meminta stafnya memberikan kepada Maharaja. Maharaja membaca kalimat itu dan merasa puas. Apa sebenarnya yang ditulis oleh kepala perpustakaan tersebut? Kusisakan pertanyaan itu kepada sidang pembaca.
*
“Dari Mana Datangnya Lintah”. Salah satu karangan dalam buku Risalah ini yang saya sukai. Sebab, saya sebagai petani sering bertemu dengan seekor lintah. Hewan berlendir tersebut biasanya hinggap di kaki atau tangan saya. Lintah menghisap darah sebagai makanannya. Sebab itu, kebanyakan orang membunuhnya ketika mendapatinya.
“Dari Mana Datangnya Lintah” mengisahkan tentang lelaki tua kerdil yang mewasiatkan seekor lintah kepada lelaki muda. “Lintah ini dapat memakan apa saja yang diberikan padanya, sepanjang makanan itu halal,” kata lelaki tua. Suatu ketika, saat lelaki muda itu bekerja sebagai wartawan, ia teringat pesan perihal lintah itu. Ia memutuskan berhenti sebagai wartawan karena dinilainya penghasilan yang ia peroleh tidak halal.
Lelaki muda itu kemudian bekerja sebagai penjual obat keliling. Saat berjualan, lintah ia letakkan di depan obat-obatnya. Ketika orang-orang berkumpul untuk melihat jualannya, sekelompok anak kecil tertarik melihat pergerakan-pergerakan lintah itu. Entah dorongan apa, tiba-tiba lintah itu mengikuti irama siulan anak kecil yang sedang berjongkok di depan jualan. Keadaan menjadi riuh seketika. Kejadian yang tak biasa itu mendatangkan keuntungan yang begitu banyak, karena pengunjung yang melihat lintah sontak melemparkan uang di samping toples tempat lintah itu bermain. Obat tak laku tapi uang tetap berdatangan. Kehidupan lelaki muda itu berubah karena lintah. Mobil, rumah, dan masih banyak lagi barang mewah yang ia punya lantaran perilaku tak biasa lintah peliharaannya itu.
Kehadiran lintah itu kemudian menjadi masalah bagi istri si lelaki muda. Istrinya ingin membuang atau membunuh lintah itu. Mengetahui niat istrinya, lelaki muda mengikutkan lintah itu ke mana pun ia berjualan. Istrinya putus asa dan mencari penghiburan ke diskotik. Hingga suatu waktu, lelaki muda mendapati istrinya pulang dalam keadaan mabuk dan dicium di dalam mobil oleh lelaki yang mengantarnya pulang. Perceraian pun menjadi pilihan. Lelaki muda berpisah dengan istrinya, juga lintah itu.
*
Cerpen yang tak kalah menariknya berjudul “Sebuah Lukisan Kaligrafi”. Berkisah tentang seorang pejabat yang meminta seorang kaligrafer beraliran Zen membuatkannya sebuah lukisan kaligrafi. Ada dua kriteria yang diinginkan pejabat itu: memiliki estetika dan dibubuhi kalimat yang menyenangkan. Sang seniman menerima permintaan itu.
Hari pertama pembuatan karya, sang seniman melakukan meditasi. Hari kedua, ia meminta semua orang ke luar dari ruangan yang disediakan oleh pejabat tinggi, tempat di mana ia akan melukis. Hari terakhir, ia membingkai dan menutup lukisan itu dengan kain hitam agar kerahasiaanya tetap terjaga.
Hari pertunjukan lukisan tiba. Pejabat mengundang sejumlah orang untuk memperlihatkan hasil lukisan sang seniman. Diperintahkannya seorang ajudan untuk membuka kain hitam itu. Lalu, seseorang maju dan membaca tulisan kaligrafi itu dengan suara keras. Orang-orang tertawa.
Apa yang diharapkan oleh sang pejabat, ternyata bertolak belakang. Sang pejabat kemudian mencekik dan mengancam kaligrafer itu dengan pasal penghinaan. Kaligrafer itu pun menjelaskan makna dari tulisannya.
“Saya tidak mau menulis sebuah kebohongan yang belum pasti adanya, seperti mengatakan bahwa anak tuan akan jadi presiden. Yang pasti itu tuan dan anak-cucu tuan akan mati,” kata kaligrafer. Mendengar penjelasan sang seniman, pejabat itu lantas merenung. Apa sesungguhnya yang dibaca oleh tamu sang pejabat itu?
Cerpen ini menurut saya memiliki daya motivasi agar seseorang berkarya. Dan, karya yang baik tidak hanya menghibur, tapi juga mengajak orang mengambil pelajaran.
*
Buku antologi cerpen Risalah ini ditutup dengan cerpen berjudul ”Sang Guru”. Di tengah hutan, para murid beserta sang Guru beristrahat di bawah pohon yang sangat besar setelah melakukan perjalanan yang cukup panjang.
“Guru, mengapa pohon besar ini tak ada yang menebangnya, padahal semua pohon yang lain telah ditebang orang?” tanya seorang murid kepada sang Guru.
Sang Guru menjelaskan bahwa pohon ini tengahnya sudah lapuk dan rapuh, sehingga tak disukai penebang liar. Murid itu mengangguk tanda mengerti.
Sang Guru dan rombongan melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah lembah—rumah, tempat tinggal sang guru. Sang murid kembali mengajukan pertanyaan, “Guru, kami sekarang sudah lapar setelah kemping seharian. Kami masih banyak beras di perumahan, tapi kami tak punya lauk. Lalu apa yang harus kami lakukan?”
Sang Guru kemudian memerintahkan seorang muridnya menangkap dan menyembelih ayam.
“Tapi Guru, ayamnya kan ada dua ekor. Ada yang sudah berkotek dan mungkin tak lama lagi akan bertelur dan ada yang tidak berkotek. Yang mana yang harus saya tangkap dan potong?”
“Kau tangkap saja yang tidak berkotek. Sudah lama ayam itu tidak mau bertelur.”
“…Mengapa hukum alam atas ayam tak berlaku sama dengan pohon besar itu guru? Bukankah pohon besar bertahan hidup karena tidak berguna, tapi mengapa guru menyuruh memotong ayam yang tidak berguna, bukan ayam yang berkotek saja supaya yang tak berkotek dapat bertahan hidup?” protes sang murid.
Membaca cerpen-cerpen karya Badaruddin Amir, mengajak kita untuk mereguk nilai-nilai kebijaksanaan. Adapun kekurangan dalam buku ini, yakni luputnya pemeriksa aksara terhadap kesalahan pengetikan.
Identitas Buku
Judul Buku: Risalah
Nama Pengarang: Badaruddin Amir
Penerbit: Gora Pustaka
Tebal Buku: xii+164 halaman, 13 x 20,5 cm
ISBN: 987-623-9047-50-4
Parepare, Juli 2019
Peresensi:
Achsan Haykal, penggiat literasi. Mahasiswa Pendidikan Matematika UM Parepare. Ia aktif di komunitas literasi: Bumi Manusia. Berdomisili di Kab. Pinrang, Sulawesi Selatan – Indonesia.

Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.